Menu Close

Workshop Sosialisasi Pergub 36/2025 Dukung Wisata Menonton Setasea Berkelanjutan di NTT

Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) NTT dan Planet Deep Foundation Dorong Regulasi Wisata Bahari Ramah Satwa

Kupang – Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi NTT bekerja sama dengan Yayasan Planet Deep Foundation menggelar Workshop Sosialisasi Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 36 Tahun 2025 tentang Petunjuk Teknis Wisata Menonton Setasea di Kawasan Konservasi Daerah, Kamis (30/10/2025) di Hotel Aston Kupang. Kegiatan ini dihadiri berbagai organisasi perangkat daerah (OPD), aparat penegak hukum, lembaga konservasi, dan mitra strategis untuk membahas Petunjuk Teknis dan Kode Etik Wisata Menonton Setasea(paus dan lumba-lumba) secara berkelanjutan di wilayah konservasi laut NTT.

Kepala DKP Provinsi NTT, Sulastri H. I. Rasyid, S.Pi., M.Si., dalam sambutannya menegaskan bahwa NTT memiliki potensi kelautan dan perikanan yang besar dengan luas kawasan konservasi perairan mencapai 4,37 juta hektare, yang tersebar di sepuluh kawasan, di mana 17,2 persen di antaranya merupakan Kawasan Konservasi Daerah (KKD) yang dikelola pemerintah provinsi. “Wisata menonton setasea bukan sekadar atraksi musiman, melainkan bagian dari strategi kelautan berkelanjutan yang mengutamakan kelestarian satwa dan lingkungan. Setiap aktivitas wisata bahari di NTT harus berorientasi pada keseimbangan antara ekonomi dan ekologi,” ujar Sulastri.

Ketua Panitia Workshop, Muhammad Saleh Goro, S.Pi., M.Pi., yang merupakan Kepala Bidang Pengelolaan Ruang Laut dan Perikanan Budidaya DKP Provinsi NTT, menjelaskan bahwa kegiatan ini dilatarbelakangi oleh keberadaan empat KKD di NTT—Alor, Flores Timur, Lembata, dan Sikka—yang menjadi fokus pengembangan ekonomi kelautan berbasis masyarakat. Lebih lanjut, Goro menjelaskan bahwa “Tahun depan akan diajukan tambahan dua kawasan baru di Belu dan Ende.”


Kawasan konservasi ini berada pada jalur migrasi paus dan lumba-lumba yang berlangsung dari April hingga Juli (utara ke selatan) dan Agustus hingga November (selatan ke utara). “Setasea ini bermigrasi dari Alor menuju Sikka, Flores Timur, hingga ke wilayah selatan seperti Rote dan Sabu sebelum kembali ke Laut Banda. Potensi ini menjadi peluang bagi NTT untuk mengembangkan wisata menonton setasea yang bertanggung jawab,” Ujar Goro.

Menurut Goro, sejak 2023 DKP Provinsi NTT telah menjalankan pilot project di Taman Perairan Kepulauan Alor melalui program Ayo Bangun NTT Menuju Alor Iki Uka yang Baik Tahun 2025, dengan target sertifikasi dari International Union for Conservation of Nature (IUCN). “Pergub 36/2025 diterbitkan sebagai dasar hukum dan pedoman kode etik bagi penyelenggaraan wisata menonton setasea di kawasan konservasi daerah,” tambahnya.

Workshop diawalai sesi pemaparan materi yang menghadirkan dua narasumber utama. Pertama, Kepala DKP Provinsi NTT, Sulastri H. I. Rasyid, S.Pi., M.Si., yang membawakan materi bertema Strategi Implementasi Wisata Menonton Setasea pada Kawasan Konservasi Daerah di Provinsi NTT. Kedua, Hanny I. C. Ratuwalu, S.H., M.Hum., Perancang Peraturan Perundang-undangan Ahli Muda dari Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi NTT, yang menyampaikan materi berjudul Urgensi Peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2025 tentang Petunjuk Teknis Wisata Menonton Setasea pada Kawasan Konservasi Daerah di Provinsi NTT. Ketiga Johannes Hennicke pendiri Planet Deep Foundation, yang menyoroti dampak ekologis dan pelaksanaan teknis wisata menonton paus (whale watching) dan lumba-lumba (Dolphin watching).

Kepala DKP Provinsi NTT menjelaskan bahwa wisata menonton setasea merupakan potensi luar biasa  yang perlu mendapatkan perhatian melalui pengaturan regulasi dan pengelolaan kelompok wisata, sehingga nilai ekonmis dan nilai ekologis tetap terjaga dengan baik. Sementara itu, dalam presentasinya, Hanny menjelaskan bahwa Pergub ini menjadi instrumen penting untuk memastikan kegiatan wisata bahari tetap berada dalam koridor konservasi. “Peraturan ini tidak hanya mengatur aspek teknis pelaksanaan, tetapi juga memberikan panduan etik agar aktivitas wisata tidak mengganggu keberlangsungan satwa dilindungi,” ujarnya.

Sementara itu, Johannes Hennicke, menjelaskan bahwa. “Jika tidak dikelola secara bijak, kegiatan ini bisa menimbulkan risiko langsung seperti kecelakaan terhadap satwa, serta risiko tidak langsung berupa stres berkepanjangan pada paus dan lumba-lumba yang dapat membuat mereka meninggalkan habitat alaminya.” Ia menambahkan bahwa prinsip dasar wisata bahari adalah mengamati tanpa mengganggu, atau observe, don’t disturb.

Setelah sesi pematerian, kegiatan dilanjutkan dengan Forum Group Discussion (FGD) yang dimoderatori oleh Alexander S. Tanody, S.Pi., M.Si. Diskusi tersebut membahas standardisasi keselamatan, kapasitas operator wisata, mekanisme izin, serta pengawasan kegiatan wisata di kawasan konservasi. Seluruh hasil FGD dirangkum dalam berita acara yang kemudian ditandatangani bersama oleh peserta workshop sebagai bentuk komitmen bersama untuk mengimplementasikan Pergub 36/2025.

Kegiatan ini akan ditindaklanjuti dengan penyusunan dokumen Petunjuk Teknis (Juknis) Wisata Menonton Setasea pada Kawasan Konservasi Daerah di Provinsi NTT, serta peluncuran resmi Pergub 36/2025 yang direncanakan bersamaan dengan perayaan Hari Jadi Provinsi NTT pada 20 Desember 2025. Pergub 36/2025 diharapkan menjadi tonggak penting bagi pengembangan wisata bahari berkelanjutan di NTT. Melalui kolaborasi pemerintah daerah, Planet Deep Foundation, dan masyarakat pesisir, NTT menargetkan model wisata menonton setasea yang sejajar dengan kawasan konservasi kelas dunia seperti Los Cabos (Meksiko), Monterey Bay (Amerika Serikat), dan Mirissa (Sri Lanka).


Kesadaran bahwa paus dan lumba-lumba adalah satwa dilindungi dan bagian integral dari ekosistem laut menjadi fondasi utama pembangunan ekonomi biru di NTT—sebuah langkah menuju masa depan pariwisata yang berkeadilan dan berkelanjutan di wilayah timur Indonesia.

Penulis: Fachri Irgiana Nurhakim

Penyunting: Maria Yosephina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *